Selasa, 05 Juli 2011

Zainuddin MZ Meninggal


Dai sejuta ummat, KH Zainuddin MZ meninggal dunia, hari ini, Selasa (5/7/2011) pagi.
Mantan ketua umum PBR ini menghembuskan nafas terakhir di RS Pusat Pertamina Jakarta, karena sakit.
KH Asnawi Mardani, salah satu sahabat Zainuddin MZ membenarkan kabar tersebut. "Betul, Kiai meninggal," ujarnya lirih kepada kami

Kehilangan Zainuddin Mz.

Saya kehilangan Zainuddin Mz. Saya diingatkan kepadanya oleh berita tentang muktamar partai-nya di Bali, pekan lalu. Saya termasuk penggemar siar-an dakwah di televisi. Dan saya memang penikmat Zainuddin, lebih dari, atau paling tidak setara dengan, Aa Gym sekarang ini.



Pada Zainuddin, maupun Aa, yang menonjol pertama kali adalah ciri. Ibarat pengarang, Zainuddin seorang stylist. Sementara Aa selalu seperti mengobrol dengan -teman-teman akrab, Zainuddin meluncur dengan kalem, bak perahu yang tenang, dengan nada yang tetap dan intonasi yang terjaga. Kalimat-kalimatnya terpelihara, formal, elegan, dan benar secara tata bahasa, disusun dari kata-kata sederhana, namun di sana-sini indah dan lancar bak sudah dihafalkan sebelumnya. Dengan voltase yang konstan dan disiplin yang terkendali, ia mencengkeram seluruh perhatian pendengar-sampai ketika ia tiba-tiba menjatuhkan pitch-nya dan membuat perubahan di dalam ritme. Di sini biasanya ia selipkan pertanyaan khas (yang sekarang ini pun masih dijadikan lelucon di salah satu iklan di televisi): "Betul?... Betul?..."

Berbeda dengan Aa Gym, yang bicara selalu di sekitar akhlak pribadi, Zainuddin mengumandangkan ajakan perbaikan pribadi itu sehubungan dengan problem kemasyarakatan. Ya, hanya dialah, sampai sekarang, yang menyentuh bidang sosial-politik. Saya dengar namanya pertama kali pada 1987, ia diceritakan (oleh seorang lurah di pelosok Tangerang) sebagai mubalig baru yang "berani": bisa mengkritik pemerintah-dengan cara menyindir, dan karena itu aman-dan membuat hadirin ketawa.

Waktu itu ia belum bertaraf nasional. Tapi jumlah peng-gemarnya meningkat cepat. Bacaan Qurannya yang bagus, materi dakwahnya yang secara agama benar (saya mencatat hampir 10 kesalahan interpretasi atau kesempit-an pandangan dai televisi sekarang ini), dan seruan tahlil dramatis yang menutup doanya di akhir acara membuat orang merasa tenteram di hadapan seorang kiai. Seluruh Tanah Air kemudian diguyur kebesaran namanya. Di Papua, berhari-hari orang dari berbagai kota berkemah menunggu kemunculannya.

Tapi, yang selanjutnya adalah politik. Berbekal populari-tas, ia membikin atau didorong membikin partai. Benar: perolehan suara Partai Bintang Reformasi, sempalan Partai Persatuan Pembangunan, bukan sama sekali kecil-lebih besar, misalnya, dari partai Mbak Tutut (Siti Hardijanti Rukmana). Memang, perolehan itu masih di bawah yang tentunya diharapkan sang ustad: dalam kenyataan, tidak semua pengagumnya sebagai dai memilih partai-nya-atau bahkan akan memilihnya menjadi presiden andai ia mencalonkan diri. Dan memang, bayangan karier kepala negara semakin jauh. Seperti juga Tutut, ia urung maju sebagai calon.

Dan itulah kenyataan pertama, yang mestinya tak diharapkannya, tentang popularitas. Sebentar ia menjadi ketua umum, pesaingnya muncul dari sebelah dalam. Partai pun pecah dua, dan ia tak mampu menyatukan ke-dua sayap. Terakhir, ia tidak lagi mencalonkan diri. Dalam muktamar islah di Bali kemarin, namanya hanya terde-ngar di akhir sekali sebagai Ketua Dewan Syuro.

Apa pentingnya, Ustad, Ketua Dewan Syuro sebuah par-tai yang tidak tampak menjanjikan masa depan? Maaf. Saya tidak bicara tentang para fungsionaris lain. Dengan mengendarai partai yang didirikan dengan mengibarkan namanya, mereka menempuh jalan politik yang jamak untuk menjadi menteri atau paling tidak anggota DPR dan mendapat penghasilan bagus. Hanya burung besar yang berani terbang sendirian, sementara yang kecil selalu memerlukan lembaga. Tapi bagaimana dengan Zainuddin? Bagaimana cara dia memberi harga pada jenis-jenis profesi, sehingga praktis meletakkan seorang politisi-bahkan, ya, presiden-di atas seorang kiai, dan menjadikan jabatan mubalig sekadar pengisi masa transisi?

Kemarin, saya berjalan di pinggir sebuah pasar kecil. Aneh, setelah sekian lama menghilang, tiba-tiba terde-ngar suara kaset ceramah yang bagus, dari sebuah kios. Sa-ya menggumam (seperti seorang gadis mendengar sua-ra bekas pacar): Itu Zainuddin. Itu Zainuddin....
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2006/05/01/KL/mbm.20060501.KL119137.id.html

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © Berita Seru & Unik Design by BTDesigner | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger